Mengaku? Kenapa Harus? ( just another two cents )

Dalam film Arisan! yang jadi salah satu film favorit saya, ada adegan dimana salah satu tokoh bernama Andien yang diperankan Aida Nurmala meradang setelah Bob, suaminya (yang diperankan oleh Joshua Pandelaki) mengakui bahwa dia pernah berselingkuh dengan wanita lain. Perselingkuhan itu diakui oleh Bob tepat pada hari jadi pernikahan mereka, sesaat setelah ia memberikan Andien sebuah mobil Jaguar sebagai hadiah.

What was on his mind? Apa yang menyebabkan ia mengakui perselingkuhannya itu?
Tidak ada yang tahu alasannya kecuali Bob sendiri. Mungkin dia merasa bersalah karena Andien begitu setia. Jadi, untuk menghilangkan rasa bersalahnya itu ia kemudian mengaku, meskipun ia menambahkan pengakuan “kamu tidak kenal orangnya” , “hanya sekali” dan “aku khilaf”. Tapi apakah pengakuan itu berakibat baik? Di dalam film, digambarkan Andien yang sangat terluka akibat perbuatan Bob lalu membalas dengan berselingkuh dengan lelaki-lelaki yang lebih muda. Mabuk-mabukan, menelantarkan suami dan anak-anaknya. Mesti seperti layaknya dalam film, akhirnya Andien sadar dan kembali pada suaminya *spoiler alert*.

Hal itu kemudian membuat saya jadi berpikir *tumben* 😀

Sebenarnya pengakuan itu baik buat siapa?
Sesungguhnya menurut saya mengakui perselingkuhan pada pasangan yang tidak tahu (dan tidak curiga) bahwa kita berselingkuh adalah hal yang sangat.. uhmm.. egois. Kenapa egois? Jujurlah pada diri sendiri, pengakuan itu baik buat siapa? Benarkah melakukannya buat kebaikan pasangan dan hubungan yang tengah kita jalani? Atau malah demi kepentingan diri sendiri?

Jujur saja. Bukankah kebanyakan peselingkuh mengakui perselingkuhannya untuk meringankan beban, supaya tidak dikejar-kejar rasa bersalah, tidur malam jadi nyenyak, makan jadi enak dan tidak was-was seperti ketika belum mengakui ‘dosa’? Jangan – jangan beberapa kali kita jadi iri ketika melihat pasangan kita makan dengan enak di restoran langganan padahal kita sendiri tidak berselera makan karena takut ketemu sama selingkuhan? Mungkin dalam hati kita berkata : “Lahap bener kamu makannya, nggak tau sih kalo aku selingkuh… Coba kalau tau..”

Jujur saja. Mungkinkah kita mengakui perselingkuhan karena letih menjadi ‘orang baik’? Andien berkata pada Bob : ‘Kamu tuh terlalu baik untuk aku. Kamu tuh perfect sayang, perfect!’ Tentu saja setelah Bob mengaku pernah berselingkuh, dia jadi tidak sempurna lagi.
Bukan rahasia lagi jika orang yang berselingkuh biasanya menjadi lebih perhatian, lebih toleran dan bersikap lebih baik daripada biasanya kepada pasangannya karena didorong oleh rasa bersalah. Mau marah sama pasangan tapi nggak jadi karena ingat kita pernah/sedang berselingkuh, mau menegur cara berpakaian pasangan jadi tidak bisa karena kita pernah/sedang berselingkuh.

Saya kok agak – agak kurang percaya ya kalau ada yang bilang dia mengakui perselingkuhannya demi kebaikan pasangan. ‘Pendosa’ akan bisa tidur nyenyak, makan enak dan ‘plong’ setelah melakukan pengakuan. Lah, yang diselingkuhi bagaimana? Gantian dia yang jadi tidak bisa tidur, sedih, merana, tak enak makan. Yang diselingkuhi juga ditempatkan pada posisi yang tak enak. Apalagi jika ia perempuan. Suka atau tak suka, masyarakat kita masih menganut pemahaman bahwa selingkuh itu memang penyakit kaum pria. Berapa banyak dalam kenyataan peselingkuh (pria) seolah-olah ‘dibela’ oleh orang sekitar (termasuk oleh keluarga si perempuan)? “Yang namanya laki-laki kan memang begitu.” “Sudahlah, dia kan sudah ngaku dan berjanji nggak akan mengulangi.” “Demi kebaikan anak-anak kamu harus memaafkan, yang penting kan sekarang udah nggak lagi.” “Jadi orang tidak boleh menyimpan dendam.” endeswei, endebrei..

Dan kalau orang yang diselingkuhi tidak dapat memaafkan, malah dia yang di-cap jelek. Pendendam, egois, keras hati, kepala batu dsb. Kadang-kadang malah dibumbuhi dengan kalimat:  “Pantas saja pasangannya selingkuh, dianya kayak gitu.”
Sudahlah diselingkuhi, disalahkan pula.

Jadi, lagi-lagi saya harus bertanya, pengakuan itu baik untuk siapa? Bukannya lebih baik kalau kita menanggung sendiri akibat perbuatan kita? Pasangan kita tidak bersalah, untuk apa kita membuatnya jadi ikut-ikutan tidak enak makan dan tidak enak tidur? Untuk apa kita membuatnya menganalisa (dan menyesali) kesalahan dan kekurangan dirinya? Kita yang berselingkuh, bukan dia. Kita sudah mengikat janji untuk selalu setia. Dan janji dibuat untuk ditepati. Apapun alasannya, sekacrut apapun pasangan kita, jika kita berselingkuh, kita lah yang bersalah karena telah melanggar janji. If you can not stand in a relationship, get yourself out of it. Jangan selingkuh!

IMHO, kecuali jika pasangan memergoki dan/atau bertanya pada kita ( tidak masalah dia tahu dari mana) bolehlah mengakuinya. Harus malah. Jika ingin mengakui perselingkuhan agar bisa mengakhiri hubungan (resmi) yang sedang dijalani, silakan saja lakukan. Resiko ditanggung penumpang.. ;p

Tapi jika masih ingin melanjutkan hubungan dengan pasangan resmi dan berniat mengaku hanya sekedar untuk ‘meringankan beban’, sebaiknya jangan lakukan. Lebih baik ia tidak tahu, ingat, what you don’t know won’t hurt you *ngerti ora kowe son? ;p*

Jadi, pesan saya buat pasangan saya nanti: Jika kamu menyelingkuhi saya dan kamu benar-benar merasa bersalah dan ingin ‘menebus’ kesalahan, saya rasa pengakuan bukanlah jawabannya. Daripada menyakiti saya dengan pengakuan kamu, mengapa tak jadi saja pasangan yang lebih baik untuk saya? Bersikaplah lebih baik, lebih setia. Ingatlah setiap menatap wajah saya, bahwa kamu memiliki kesalahan pada saya. Jangan lupakan betapa akan sakit hatinya saya jika mengetahui perbuatanmu itu. 🙂

About cosynook

Anak Bapak. Perlu ngeblog untuk katarsis. :)
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment