Contextual Teaching and Learning

 

A.   Pengertian Contextual Teaching and Learning

Kata contextual menurut asalnya dari bahasa Inggris, yang bermakna mengikuti konteks atau dalam konteks. Secara umum contextual mengandung arti:

  1. Sesuatu yang berkenaan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks;
  2. Sesuatu yang membawa maksud, makna dan kepentingan.

Menurut Nurhadi (2003:1) pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.”  Menurut  Poedjiadi (2005:98), pendekatan CTL adalah “suatu pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan bangsa”.

Selanjutnya, Nurhadi (2003:1) menyebutkan “proses pernbelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan memahami, guru bukannya hanya sekedar mentransfer pengetahuannya kepada siswa (transfer of knowledge), tetapi lebih mementingkan strategi  pembelajarannya daripada hasil.” Dengan demikian melalui pendekatan ini pembelajaran tidak akan didominasi oleh guru/berpusat pada guru (teacher centered), tetapi sebaliknya siswalah yang akan beraktivitas lebih banyak dari pada guru (student centered), pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa, karena merekalah yang mencari sumber belajar, informasi, serta menganalisis informasi-informasi yang diperoleh, baik secara sendiri-sendiri maupun mendiskusikan secara berkelompok.

Melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), guru berperan dalam membantu siswa mencapai tujuan. Artinya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Guru bertugas untuk mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan ‘menemukan sendiri’.

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan sebuah strategi pembelajaran seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Pendekatan ini dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran  berjalan lebih produktif dan bermakna. Dengan pendekatan kontekstual, siswa melakukan proses belajar dan mengembangkan kemampuannya. Podjiadi (2005:99) menyatakan “Contextual Teaching and Learning (CTL) di samping mempermudah mengkonstruksi pengetahuan, pendekatan kontekstual juga dapat mempermudah terbentuknya penghayatan bidang afektif”.

Berbagai peranan dan aktivitas akan dilakukan siswa dalam pembelajaran kontekstual seperti dikemukakan Nana Syaodih (2000 : 200) sebagai berikut:

  1. Siswa berperan sebagai pembelajar aktif mengelola dirinya sendiri, mengembangkan minatnya sendiri atau bekerja kelompok, belajar melalui perbuatan.
  2. Membentuk hubungan antara apa yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan di masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan dunia kerja.
  3. Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan berarti bagi dirinya maupun orang lain, membuat pilihan, memberikan hasil tampak maupun tak tampak.
  4. Menggunakan pemikiran tahap tinggi, berpikir kritis. kreatif, melakukan analisis, sintesis, pemecahan masalah, membuat keputusan menggunakan logika dan fakta-fakta.
  5. Mengembangkan kemampuan bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, memahami orang lain, berkomunikasi, saling membantu dan mmempengaruhi.

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan cara melibatkan tujuh komponen utama yang menjadi karakteristik pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). (Corebima, et al, 2002:5). 

Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan mereka akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Menurut Mulyasa (2005:103) “Pembelajaran konstektual mendorong peserta didik memahami hakekat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan kecanduan belajar”.

Adapun hasil yang diharapkan melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) menurut  Poedjiadi (1995:98) adalah “untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui peningkatan pemahaman makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari”.

B.   Karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL)

Menurut Corebima, et al, (2002:5) Pendekatan Contextual Teaching and Learning memiliki tujuh komponen utama, yaitu (1) kontrukstivisme (constructivism), (2) menemukan (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modelling). (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian autentik (authentic assesment). Suatu kelas dikatakan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.

 

(1). Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan perpikir pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), bahwa pengetahuan dibangun manusia sedikit demi sedikit, hasiInya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan-gagasan. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori kontruktivis bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat menjadi milik mereka sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima pengetahuan’. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran.

 

(2). Menemukan (Inquiry)

Dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, (guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai materi yang djajarkan.

Menurut Suchman (Dahlan 1990:35) “bahwa Inquiry memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara independen, dalam suatu cara yang teratur”. Melalui inquiry, siswa bertanya memperoleh dan  mengolah data secara logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Wiriaatmadja (2002:137) mengemukakan “strategi mengajar dengan model inkuiri menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa terlibat dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian yang dengan memanipulasikan data yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman dan pengamatannya sendiri, atau oleh orang lain untuk dipahami atau dibermaknakan”.

Terdapat beberapa langkah dalam kegiatan  menemukan (inquiry) seperti yang dikemukakan Nurhadi (2003:13) berikut ini:

  1. merumuskan masalah
  2. mengamati dan melakukan observasi
  3. menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan bagan, tabel, dan karya lainnya
  4. mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

 

(3). Bertanya (Questioning)

Bertanya (questioning) merupakan strategi utama lainnya dalam pembelajaran yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian penting, bagi siswa untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.

Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan Nurhadi (2003: 14) berikut ini:

1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis

2. mengecek pemahaman siswa

3. membangkitkan respon kepada siswa

4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa

5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa

6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru

7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa

8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa

 

(4).  Komunitas Belajar (Learning Community)

Konsep komunitas belajar memberi peluang untuk memperoleh hasil pembelajaran melalui kerja sama dengan orang lain. Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Menurut Hakim (2000:43) “belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan  dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok”.

Dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995:4-5) “kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen”.

Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan teman belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.

 

(5).  Pemodelan (Modeling)

Komponen Contextual Teaching and Learning (CTL) yang kelima adalah pemodelan. Pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu dapat menggunakan atau menghadirkan model yang bisa ditiru, contohnya karya tulis, contoh Soekarno berpidato, presiden/raja memimpin rapat, pahlawan memimpin perang, kerja paksa, pelaut mengelilingi dunia dan sebagainya.

Dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), guru bukan satu-satunya model. Guru dapat merancang model dengan melibatkan siswa. Siswa yang memiliki prestasi, bakat dan kemampuannya dapat ditunjuk untuk dijadikan model. Model pun dapat didatangkan dari luar lingkungan sekolah.

 

(6).  Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan bagian penting dalam pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan di masa lalu untuk mengevaluasi atau introspeksi apakah selama mengikuti proses pembelajaran, siswa dapat mengiukuti dengan baik, aktif, dapat memahami materi pembelajaran, senang belajar, dan lain-lainnya.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh melalui proses, Pengetahuan yang telah dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran sedikit  demi sedikit. Guru membantu siswa dalam menghubung-hubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dengan demikian siswa akan memperoleh sesuatu yang bermakna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Konsep inilah yang oleh Ausubel (1968) disebut meaningfull learning.

 

(7).  Penilaian yang Sebenarnya (Assesment Authentic)

Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran dari perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Jika data yang diperoleh menggambarkan masalah siswa dalam belajar, maka guru harus segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kendala belajar.

Data yang dikumpulkan melalui penilaian bukan untuk mencari infomasi tentang belajar siswa. Hal tersebut karena penilaian menekankan proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan siswa saat pembelajaran. Kemajuan belajar diperoleh melalui proses pembelajaran, tidak hanya hasil. Penilaian yang sebenarnya yaitu menilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa.

 

C.   Teori Belajar yang Mendasari Contextual Teaching and Learning

 1. Teori Belajar Ausubel

Ausubel (Degeng, 1989:65) mengemukakan bahwa “untuk mengoptimalkan perolehan, pengorganisasian, serta pengungkapan pengetahuan baru dapat dilakukan dengan membuat pengetahuan baru itu bermakna bagi si belajar”.  Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengaitkan pada pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya. Sebelum murid diberi bahan/materi baru, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya harus terstruktur dengan baik agar pengetahuan baru tersebut dapat masuk ke dalam struktur pengetahuan murid dan diolah menjadi struktur kognitif yang baru. Dalam posisi inilah terjadi pembelajaran yang bermakna, artinya murid dapat menangkap sesuatu yang baru karena ada keterhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (Kamarga, 2000:22-23).

Menurut Ausubel (Dahar, 1996:112) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (meaningful). Belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generaIisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Ausubel (Suparno, 1997:54) mengatakan belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki oleh para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

 

2. Teori Belajar Piaget.

Menurut Piaget (Dahar, 1996:152; Hasan, 1996:86; Surya, 2003:57;), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut : (1). Sensori motor, usia antara 0 – 2 tahun, (2). Pra operasional,  usia antara 2 – 7 tahun,  (3). Operasional konkret, usia antara 7 – 11 tahun, dan (4). Operasional formal, usia 11 tahun ke atas.

Mengacu pada teori Piaget, maka siswa yang berada pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu usia berkisar diantara 12-14/15 tahun, termasuk dalam kategori tingkat operasional formal. Pada periode ini anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini ialah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret; ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak (Dahar,1996:155). Karena itu Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat dilaksanakan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dalam hubungannya dengan belajar, teori ini mengacu kepada kegiatan belajar yang harus melibatkan partisipasi peserta didik.  Menurut teori ini pengetahuan tidak hanya sekedar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif. Contextual Teaching and learning (CTL) adalah juga sebuah pendekatan pembelajaran aktif yang berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

Pada tingkat operasional formal ini, siswa telah menyesuaikan diri dengan realita konkrit dan haus pengetahuan. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan kualitas kognitif siswa, guru dalam melaksanakan pembelajaran harus lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan. Di samping itu bahwa pembentukan otak dengan pengetahuan hafalan dan latihan drill yang berlebihan selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal, juga secara psikologis tidak seimbangnya memfungsikan belahan otak sebelah kiri dengan belahan otak sebelah kanan, akibatnya pembelajaran tidak dapat memotivasi siswa untuk berfikir secara kreatif dan inovatif. Menurut Gordon  dan  Vos (1999:124-125) “secara umum, otak kiri memainkan peranan dalam pemerosesan logika, kata-kata, matematika, dan urutan yang disebut pembelajaran akademik. Otak kanan berurusan dengan irama, musik, gambar, dan imajinasi yang disebut dengan aktivitas kreatif”. Kedua sisi otak tersebut dihubungkan oleh corpus callosum yang berfungsi menyeimbangkan pesan-pesan yang datang dan menghubungkan sesuatu yang abstrak dengan pesan yang konkret dan logis.

Belajar pada intinya melibatkan segenap tubuh, fikiran, emosi, dan semua indra yang dimiliki manusia, otak merupakan kunci sukses seseorang dalam belajar.  Hannaford (Yamin, 2003:143) mengatakan “keadaan otak manusia akan mempunyai pengaruh terhadap tubuh manusia, demikian sebaliknya”. Bila siswa berada dalam keadaan gelisah, resah, sakit, strees, dan takut, maka ia akan sulit meningkatkan kualitas dan kuantitas belajarnya. Tetapi belajar dapat dilakukan dalam keadaan gembira, senang, suasana yang sehat. Oleh sebab itu pemberdayaan otak secara menyeluruh sangat diperlukan dalam kapasitas kompetensi, pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu pendekatan belajar yang menyenangkan.

Menurut Surya (2003:59), perkembangan kognitif pada tingkat operasional formal ini, merupakan ciri perkembangan remaja dan dewasa yang menuju ke arah proses berpikir dalam peringkat yang lebih tinggi. Peringkat berpikir ini sangat diperlukan dalam pemecahan masalah. Perkembangan kognitif ditandai dengan kemampuan individu untuk berfikir secara hipotetis dan berbeda dengan fakta, memahami konsep abstrak, dan mempertimbangkan kemungkinan cakupan yang luas dari perkara yang sempit.

Proses pembelajaran akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang dengah Interaksi dengan teman sebaya, dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Surya, 2003:59).

Selanjutnya Surya (2003:59) mengatakan implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pengajaran, antara lain:

  1. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
  2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya.
  3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
  4. Beri peluang agar anak belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya.
  5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.

 

3. Teori Belajar Vygotsky

Piaget lebih menekankan aktivitas individu dalam pembentukan pengetahuan, maka Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan tersebut, ada akibat yang ditimbulkan dari interaksi sosial terlebih bahasa dan budaya pada proses belajar anak.  Menurut Vygotsky, (Suparno, 1997:45), belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dia membedakan adanya dua pengertian, yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas, atau yang diperoleh dari pelajaran di sekolah. Selanjutnya Suparno (1997:52) mengatakan kedua konsep itu saling berhubungan. Apa yang dipelajari siswa di sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.

Sumbangan dari teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosiokultural dalam pembelajaran. Menurutnya bahwa pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada saat ini. Zona perkembangan proksimal adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Dengan demikian maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui pendekatan Contextual Teaching and learning, untuk melatih para siswa secara berangsur-angsur mampu memecahkan masalah secara mandiri. Vygotsky (Kozulin, 1998:41) mengatakan “Pengalaman telah menunjukkan bahwa anak dengan daerah perkembangan proksimal yang lebih besar akan lebih baik di sekolahnya”.

Gagasan penting lain dalam pembelajaran yang diangkat dari teori Vygotsky adalah scaffolding (Nur, 2000:14), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak (siswa-siswa) pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya sedikit demi sedikit, dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut saat mereka dinilai telah mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri.

Scaffolding didasarkan pada konsep Vygotsky tentang konsep pembelajaran dengan bantuan (assisted learning). Menurut Vygotsky (Nur, 2000:13) fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengarahkan memori dan atensi untuk tujuan tertentu serta kemampuan untuk berfikir dalam symbol-simbol, adalah perilaku yang memerlukan bantuan media. Dengan mendapatkan bantuan secara eksternal (dari luar diri siswa) oleh budaya, perilaku itu masuk dan melekat dalam benak siswa sebagai alat psikologis. Selanjutnya Vygotsky (Nur, 2000:14) mengatakan dalam pembelajaran dengan bantuan (assisted learning), guru adalah agen budaya yang memandu pembelajaran sehingga siswa akan menguasai secara tuntas keterampilan-keterampilan yang memungkinkan fungsi kognitif yang lebih tinggi.

Dalam teori Vygotsky dijelaskan bahwa ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun dari aktivitas siswa di dalam kelas, sedangkan aktivitas sosial siswa dikembangkan dalam bentuk kerja sama antar siswa dengan siswa lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru (Suparno, 1997:46).

Perbedaan penting antara Piaget dengan Vygotsky menurut Kozulin (1998:39), berada dalam pengertian mereka mengenai subyek kegiatan psikologis. Untuk Piaget, subyeknya adalah seorang individu anak yang pikirannya melalui interaksi dengan dunia fisik dan sosial, sampai pada bentuk alasan kedewasaan yang terkait dengan pengerjaan yang formal. Untuk Vygotsky, kegiatan psikologis mempunyai ciri-ciri sosial budaya dari awal pengembangannya; anak-anak bukanlah penemu tunggal dari aturan-aturan logis, melainkan merupakan seorang individu yang menguasai proses psikologis mereka sendiri melalui peralatan yang ditawarkan oleh budaya yang mereka miliki.

Selanjutnya Kozulin (1998:40) mengatakan untuk Piaget, pembelajaran muncul dalam interaksi yang tidak dibantu antara skema mental anak dan objek dari dunia luar. Hasilnya, anak itu memiliki “ide menakjubkan”-nya sendiri, yang dibutuhkan dalam lingkungan pembelajaran ini adalah menjadi cukup kaya sehingga anak-anak memiliki objek dan proses yang cukup untuk melatih skema mereka. Dari sudut pandang Vygotsky, pembelajaran muncul dalam gabungan antara anak-anak dan orang dewasa yang memperkenalkan alat-alat simbolis pada anak-anak itu dan mengajari mereka bagaimana mengatur dan mengontrol fungsi psikologis mereka melalui peralatan budaya ini. Dalam prosesnya, fungsi psikologis alami anak berubah, sifat dasar mereka menjadi teratur dan diberitahu secara alami dan secara sosial.

 

About cosynook

Anak Bapak. Perlu ngeblog untuk katarsis. :)
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment