Yang Penting Niatnya – Really?

Gara-garanya saya membaca sebuah artikel yang mengisahkan tentang seorang kakek-kakek yang dipenjarakan karena membacok tetangganya hingga tangan ibu beranak dua itu putus. Penyebabnya sepele, si kakek marah karena sang ibu menegur istri si kakek yang memarahi anak-anak sang ibu yang dinilai ribut.

Sang kakek berkata bahwa ia tidak menyangka akan menghabiskan waktunya di penjara di usia senja dan bahwa ia sebenarnya tidak berniat menganiaya tetangganya itu sampai sedemikian parah.

“Saya niatnya cuma pengin kasih pelajaran saja, soalnya saya tersinggung. Nggak ada niat jahat”, begitu katanya.

Artikel itu terus terang membuat saya mikir.

Betapa sering kita mendengarkan orang berkata : “Yang penting ‘kan niatnya!” Bahkan ada ungkapan barat yang berbunyi “good intentions counts”.

But, really?

Buat saya pribadi, “yang penting niatnya” itu bukan kata-kata yang tepat. Bagi saya yang tak kalah pentingnya adalah hasil akhir dan efek yang ditimbulkan. The result is what matters. Kita terkadang menjadikan kalimat “yang penting niatnya.” itu sebagai tameng untuk menghindari konsekuensi dari kesalahan yang kita lakukan.

Padahal cuma niat saja nggak cukup, harus ada tindakan yang dilakukan.

Ketika seseorang berniat melakukan hal yang baik akan tetapi hasil yang didapat malah destruktif, tentu kita harus menelaah sejauh mana orang tersebut memahami tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan niatnya itu. Apakah ia memang punya keterampilan atau daya upaya untuk mewujudkan niatnya atau tidak? Jika dia berniat baik, tetapi nggak punya kemampuan mewujudkannya dan nggak nyadar akan ketidakmampuannya, well, don’t mean to judge, but intentional ignorance is no excuse.

Niatnya tidur awal supaya bangun lebih pagi jadi bisa on time nyampe kampus; apa daya, kok subuh-subuh malah-hujan-udara-jadi-dingin-tidur-lagi-aja-ahh.. Ketika kita akhirnya telat nyampe di kampus, saya nggak yakin pantas buat kita untuk membenarkan keterlambatan kita dengan berkata : “niat saya sih dateng jam tujuh..” kenyataannya kita dateng jam sembilan, tetap aja telat ‘kan?

Niat sholat subuh, tapi karena tidurnya kemaleman bablas ketiduran sampe jam tujuh, jadinya nggak sholat subuh. Dosanya nggak akan terhapus karena kita ‘sebenernya udah niat’ bukan?

Niat sedekah tapi duitnya nggak jadi kita kasih. Apapun alasannya, pahalanya nggak sama dengan jika kita bersedekah beneran, yes?

Berapa banyak kita lihat pelaku penganiayaan yang berkata : “saya sebenernya nggak ada niat buat melukai, cuma pengen ngasi pelajaran aja.” ? Yeah, right. Coba ngomong gitu pada orang yang tangannya putus kamu bacok. Rasa sakit dan penderitannya tidak akan berkurang walaupun perbuatan itu ‘tak diniatkan’.

Saya juga nggak yakin dosa orang yang merampok dengan alasan untuk “kasih makan anak-istri” kadarnya beda dengan orang yang ngerampok buat seneng-seneng aja.

Tempatkan diri kita pada posisi orang yang dirugikan. Segala alasan, segala pembenaran, tidak akan membuat kesalahan yang kita lakukan itu menjadi benar. Akui kesalahan, minta maaf dan jalani konsekuensi dari perbuatan kita itu.

Man (or woman) up!

P.S : Tentu saja proses juga penting, walau hasilnya bagus tapi dalam prosesnya salah dan merugikan, tentu jatohnya jadi nggak oke juga ‘kan? tapi itu bahasan lain lagi.

About cosynook

Anak Bapak. Perlu ngeblog untuk katarsis. :)
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment