Loving You Is Easy (Julia Gharta) Lyrics

Why don’t we call out the world and take a ride up into the canyon

we’ll play pretend in another world you can be Aladdin I’ll be a Jasmine

who ever said the honeymoon phase eventually fades clearly never had it figured out anyways

cuz we’ve had nothing but good days

loving you is easy

easy like it should be

when you find the one it can’t be hard to love ‘em deeply

loving you is easy

easy ‘cause you see me

for everything I am

completely

loving you is easy

loving you is

loving you is

loving you is easy

loving you is

loving you is easy

hhmm

got no doubt you put me first

you love me quiet

you love me sweetly

even when I’m at my worst

you’ve always know just how to treat me

who ever said the honeymoon phase eventually fades clearly never had it figured out anyways

yeah we’ve had nothing but good days

loving you is easy

easy like it should be

when you find the one it can’t be hard to love ‘em deeply

loving you is easy

easy ‘cause you see me

for everything I am

completely

loving you is easy

loving you is

loving you is

loving you is easy

loving you is

loving you is easy

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Yang Penting Niatnya – Really?

Gara-garanya saya membaca sebuah artikel yang mengisahkan tentang seorang kakek-kakek yang dipenjarakan karena membacok tetangganya hingga tangan ibu beranak dua itu putus. Penyebabnya sepele, si kakek marah karena sang ibu menegur istri si kakek yang memarahi anak-anak sang ibu yang dinilai ribut.

Sang kakek berkata bahwa ia tidak menyangka akan menghabiskan waktunya di penjara di usia senja dan bahwa ia sebenarnya tidak berniat menganiaya tetangganya itu sampai sedemikian parah.

“Saya niatnya cuma pengin kasih pelajaran saja, soalnya saya tersinggung. Nggak ada niat jahat”, begitu katanya.

Artikel itu terus terang membuat saya mikir.

Betapa sering kita mendengarkan orang berkata : “Yang penting ‘kan niatnya!” Bahkan ada ungkapan barat yang berbunyi “good intentions counts”.

But, really?

Buat saya pribadi, “yang penting niatnya” itu bukan kata-kata yang tepat. Bagi saya yang tak kalah pentingnya adalah hasil akhir dan efek yang ditimbulkan. The result is what matters. Kita terkadang menjadikan kalimat “yang penting niatnya.” itu sebagai tameng untuk menghindari konsekuensi dari kesalahan yang kita lakukan.

Padahal cuma niat saja nggak cukup, harus ada tindakan yang dilakukan.

Ketika seseorang berniat melakukan hal yang baik akan tetapi hasil yang didapat malah destruktif, tentu kita harus menelaah sejauh mana orang tersebut memahami tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan niatnya itu. Apakah ia memang punya keterampilan atau daya upaya untuk mewujudkan niatnya atau tidak? Jika dia berniat baik, tetapi nggak punya kemampuan mewujudkannya dan nggak nyadar akan ketidakmampuannya, well, don’t mean to judge, but intentional ignorance is no excuse.

Niatnya tidur awal supaya bangun lebih pagi jadi bisa on time nyampe kampus; apa daya, kok subuh-subuh malah-hujan-udara-jadi-dingin-tidur-lagi-aja-ahh.. Ketika kita akhirnya telat nyampe di kampus, saya nggak yakin pantas buat kita untuk membenarkan keterlambatan kita dengan berkata : “niat saya sih dateng jam tujuh..” kenyataannya kita dateng jam sembilan, tetap aja telat ‘kan?

Niat sholat subuh, tapi karena tidurnya kemaleman bablas ketiduran sampe jam tujuh, jadinya nggak sholat subuh. Dosanya nggak akan terhapus karena kita ‘sebenernya udah niat’ bukan?

Niat sedekah tapi duitnya nggak jadi kita kasih. Apapun alasannya, pahalanya nggak sama dengan jika kita bersedekah beneran, yes?

Berapa banyak kita lihat pelaku penganiayaan yang berkata : “saya sebenernya nggak ada niat buat melukai, cuma pengen ngasi pelajaran aja.” ? Yeah, right. Coba ngomong gitu pada orang yang tangannya putus kamu bacok. Rasa sakit dan penderitannya tidak akan berkurang walaupun perbuatan itu ‘tak diniatkan’.

Saya juga nggak yakin dosa orang yang merampok dengan alasan untuk “kasih makan anak-istri” kadarnya beda dengan orang yang ngerampok buat seneng-seneng aja.

Tempatkan diri kita pada posisi orang yang dirugikan. Segala alasan, segala pembenaran, tidak akan membuat kesalahan yang kita lakukan itu menjadi benar. Akui kesalahan, minta maaf dan jalani konsekuensi dari perbuatan kita itu.

Man (or woman) up!

P.S : Tentu saja proses juga penting, walau hasilnya bagus tapi dalam prosesnya salah dan merugikan, tentu jatohnya jadi nggak oke juga ‘kan? tapi itu bahasan lain lagi.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

HUFH..

Saat sedang galau begini, memang lebih mudah mengasihani diri sendiri.

Merana-rana merasa bagaikan orang yang paling malang di dunia.

Padahal masalah yang dihadapi tidak ada apa-apanya dibandingkan derita orang lain di luar sana.

Sabar, sabar, ikhlas, ikhlas,

Berkali-kali merapalkan kata-kata itu dalam hati. Bagaikan mantra.

Untuk meringankan beban didada.

Bulan yang berat.

Segeralah lewat.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Contextual Teaching and Learning

 

A.   Pengertian Contextual Teaching and Learning

Kata contextual menurut asalnya dari bahasa Inggris, yang bermakna mengikuti konteks atau dalam konteks. Secara umum contextual mengandung arti:

  1. Sesuatu yang berkenaan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks;
  2. Sesuatu yang membawa maksud, makna dan kepentingan.

Menurut Nurhadi (2003:1) pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.”  Menurut  Poedjiadi (2005:98), pendekatan CTL adalah “suatu pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan bangsa”.

Selanjutnya, Nurhadi (2003:1) menyebutkan “proses pernbelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan memahami, guru bukannya hanya sekedar mentransfer pengetahuannya kepada siswa (transfer of knowledge), tetapi lebih mementingkan strategi  pembelajarannya daripada hasil.” Dengan demikian melalui pendekatan ini pembelajaran tidak akan didominasi oleh guru/berpusat pada guru (teacher centered), tetapi sebaliknya siswalah yang akan beraktivitas lebih banyak dari pada guru (student centered), pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa, karena merekalah yang mencari sumber belajar, informasi, serta menganalisis informasi-informasi yang diperoleh, baik secara sendiri-sendiri maupun mendiskusikan secara berkelompok.

Melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), guru berperan dalam membantu siswa mencapai tujuan. Artinya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Guru bertugas untuk mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan ‘menemukan sendiri’.

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan sebuah strategi pembelajaran seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Pendekatan ini dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran  berjalan lebih produktif dan bermakna. Dengan pendekatan kontekstual, siswa melakukan proses belajar dan mengembangkan kemampuannya. Podjiadi (2005:99) menyatakan “Contextual Teaching and Learning (CTL) di samping mempermudah mengkonstruksi pengetahuan, pendekatan kontekstual juga dapat mempermudah terbentuknya penghayatan bidang afektif”.

Berbagai peranan dan aktivitas akan dilakukan siswa dalam pembelajaran kontekstual seperti dikemukakan Nana Syaodih (2000 : 200) sebagai berikut:

  1. Siswa berperan sebagai pembelajar aktif mengelola dirinya sendiri, mengembangkan minatnya sendiri atau bekerja kelompok, belajar melalui perbuatan.
  2. Membentuk hubungan antara apa yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan di masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan dunia kerja.
  3. Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting dan berarti bagi dirinya maupun orang lain, membuat pilihan, memberikan hasil tampak maupun tak tampak.
  4. Menggunakan pemikiran tahap tinggi, berpikir kritis. kreatif, melakukan analisis, sintesis, pemecahan masalah, membuat keputusan menggunakan logika dan fakta-fakta.
  5. Mengembangkan kemampuan bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, memahami orang lain, berkomunikasi, saling membantu dan mmempengaruhi.

Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan cara melibatkan tujuh komponen utama yang menjadi karakteristik pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). (Corebima, et al, 2002:5). 

Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan mereka akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Menurut Mulyasa (2005:103) “Pembelajaran konstektual mendorong peserta didik memahami hakekat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan kecanduan belajar”.

Adapun hasil yang diharapkan melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) menurut  Poedjiadi (1995:98) adalah “untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui peningkatan pemahaman makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari”.

B.   Karakteristik Contextual Teaching and Learning (CTL)

Menurut Corebima, et al, (2002:5) Pendekatan Contextual Teaching and Learning memiliki tujuh komponen utama, yaitu (1) kontrukstivisme (constructivism), (2) menemukan (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modelling). (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian autentik (authentic assesment). Suatu kelas dikatakan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.

 

(1). Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan perpikir pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), bahwa pengetahuan dibangun manusia sedikit demi sedikit, hasiInya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan-gagasan. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori kontruktivis bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat menjadi milik mereka sendiri.

Berdasarkan hal tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima pengetahuan’. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran.

 

(2). Menemukan (Inquiry)

Dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, (guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai materi yang djajarkan.

Menurut Suchman (Dahlan 1990:35) “bahwa Inquiry memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara independen, dalam suatu cara yang teratur”. Melalui inquiry, siswa bertanya memperoleh dan  mengolah data secara logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Wiriaatmadja (2002:137) mengemukakan “strategi mengajar dengan model inkuiri menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa terlibat dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian yang dengan memanipulasikan data yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman dan pengamatannya sendiri, atau oleh orang lain untuk dipahami atau dibermaknakan”.

Terdapat beberapa langkah dalam kegiatan  menemukan (inquiry) seperti yang dikemukakan Nurhadi (2003:13) berikut ini:

  1. merumuskan masalah
  2. mengamati dan melakukan observasi
  3. menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan bagan, tabel, dan karya lainnya
  4. mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

 

(3). Bertanya (Questioning)

Bertanya (questioning) merupakan strategi utama lainnya dalam pembelajaran yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian penting, bagi siswa untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.

Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan Nurhadi (2003: 14) berikut ini:

1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis

2. mengecek pemahaman siswa

3. membangkitkan respon kepada siswa

4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa

5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa

6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru

7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa

8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa

 

(4).  Komunitas Belajar (Learning Community)

Konsep komunitas belajar memberi peluang untuk memperoleh hasil pembelajaran melalui kerja sama dengan orang lain. Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Menurut Hakim (2000:43) “belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan  dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok”.

Dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995:4-5) “kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen”.

Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan teman belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.

 

(5).  Pemodelan (Modeling)

Komponen Contextual Teaching and Learning (CTL) yang kelima adalah pemodelan. Pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu dapat menggunakan atau menghadirkan model yang bisa ditiru, contohnya karya tulis, contoh Soekarno berpidato, presiden/raja memimpin rapat, pahlawan memimpin perang, kerja paksa, pelaut mengelilingi dunia dan sebagainya.

Dalam pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), guru bukan satu-satunya model. Guru dapat merancang model dengan melibatkan siswa. Siswa yang memiliki prestasi, bakat dan kemampuannya dapat ditunjuk untuk dijadikan model. Model pun dapat didatangkan dari luar lingkungan sekolah.

 

(6).  Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan bagian penting dalam pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan di masa lalu untuk mengevaluasi atau introspeksi apakah selama mengikuti proses pembelajaran, siswa dapat mengiukuti dengan baik, aktif, dapat memahami materi pembelajaran, senang belajar, dan lain-lainnya.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh melalui proses, Pengetahuan yang telah dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran sedikit  demi sedikit. Guru membantu siswa dalam menghubung-hubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Dengan demikian siswa akan memperoleh sesuatu yang bermakna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Konsep inilah yang oleh Ausubel (1968) disebut meaningfull learning.

 

(7).  Penilaian yang Sebenarnya (Assesment Authentic)

Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran dari perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Jika data yang diperoleh menggambarkan masalah siswa dalam belajar, maka guru harus segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kendala belajar.

Data yang dikumpulkan melalui penilaian bukan untuk mencari infomasi tentang belajar siswa. Hal tersebut karena penilaian menekankan proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan siswa saat pembelajaran. Kemajuan belajar diperoleh melalui proses pembelajaran, tidak hanya hasil. Penilaian yang sebenarnya yaitu menilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa.

 

C.   Teori Belajar yang Mendasari Contextual Teaching and Learning

 1. Teori Belajar Ausubel

Ausubel (Degeng, 1989:65) mengemukakan bahwa “untuk mengoptimalkan perolehan, pengorganisasian, serta pengungkapan pengetahuan baru dapat dilakukan dengan membuat pengetahuan baru itu bermakna bagi si belajar”.  Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengaitkan pada pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya. Sebelum murid diberi bahan/materi baru, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya harus terstruktur dengan baik agar pengetahuan baru tersebut dapat masuk ke dalam struktur pengetahuan murid dan diolah menjadi struktur kognitif yang baru. Dalam posisi inilah terjadi pembelajaran yang bermakna, artinya murid dapat menangkap sesuatu yang baru karena ada keterhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (Kamarga, 2000:22-23).

Menurut Ausubel (Dahar, 1996:112) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (meaningful). Belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generaIisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Ausubel (Suparno, 1997:54) mengatakan belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki oleh para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

 

2. Teori Belajar Piaget.

Menurut Piaget (Dahar, 1996:152; Hasan, 1996:86; Surya, 2003:57;), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut : (1). Sensori motor, usia antara 0 – 2 tahun, (2). Pra operasional,  usia antara 2 – 7 tahun,  (3). Operasional konkret, usia antara 7 – 11 tahun, dan (4). Operasional formal, usia 11 tahun ke atas.

Mengacu pada teori Piaget, maka siswa yang berada pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu usia berkisar diantara 12-14/15 tahun, termasuk dalam kategori tingkat operasional formal. Pada periode ini anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini ialah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret; ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak (Dahar,1996:155). Karena itu Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat dilaksanakan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Dalam hubungannya dengan belajar, teori ini mengacu kepada kegiatan belajar yang harus melibatkan partisipasi peserta didik.  Menurut teori ini pengetahuan tidak hanya sekedar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif. Contextual Teaching and learning (CTL) adalah juga sebuah pendekatan pembelajaran aktif yang berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

Pada tingkat operasional formal ini, siswa telah menyesuaikan diri dengan realita konkrit dan haus pengetahuan. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan kualitas kognitif siswa, guru dalam melaksanakan pembelajaran harus lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan. Di samping itu bahwa pembentukan otak dengan pengetahuan hafalan dan latihan drill yang berlebihan selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal, juga secara psikologis tidak seimbangnya memfungsikan belahan otak sebelah kiri dengan belahan otak sebelah kanan, akibatnya pembelajaran tidak dapat memotivasi siswa untuk berfikir secara kreatif dan inovatif. Menurut Gordon  dan  Vos (1999:124-125) “secara umum, otak kiri memainkan peranan dalam pemerosesan logika, kata-kata, matematika, dan urutan yang disebut pembelajaran akademik. Otak kanan berurusan dengan irama, musik, gambar, dan imajinasi yang disebut dengan aktivitas kreatif”. Kedua sisi otak tersebut dihubungkan oleh corpus callosum yang berfungsi menyeimbangkan pesan-pesan yang datang dan menghubungkan sesuatu yang abstrak dengan pesan yang konkret dan logis.

Belajar pada intinya melibatkan segenap tubuh, fikiran, emosi, dan semua indra yang dimiliki manusia, otak merupakan kunci sukses seseorang dalam belajar.  Hannaford (Yamin, 2003:143) mengatakan “keadaan otak manusia akan mempunyai pengaruh terhadap tubuh manusia, demikian sebaliknya”. Bila siswa berada dalam keadaan gelisah, resah, sakit, strees, dan takut, maka ia akan sulit meningkatkan kualitas dan kuantitas belajarnya. Tetapi belajar dapat dilakukan dalam keadaan gembira, senang, suasana yang sehat. Oleh sebab itu pemberdayaan otak secara menyeluruh sangat diperlukan dalam kapasitas kompetensi, pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu pendekatan belajar yang menyenangkan.

Menurut Surya (2003:59), perkembangan kognitif pada tingkat operasional formal ini, merupakan ciri perkembangan remaja dan dewasa yang menuju ke arah proses berpikir dalam peringkat yang lebih tinggi. Peringkat berpikir ini sangat diperlukan dalam pemecahan masalah. Perkembangan kognitif ditandai dengan kemampuan individu untuk berfikir secara hipotetis dan berbeda dengan fakta, memahami konsep abstrak, dan mempertimbangkan kemungkinan cakupan yang luas dari perkara yang sempit.

Proses pembelajaran akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang dengah Interaksi dengan teman sebaya, dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan dan secara aktif mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Surya, 2003:59).

Selanjutnya Surya (2003:59) mengatakan implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pengajaran, antara lain:

  1. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu dalam mengajar guru hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
  2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya.
  3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
  4. Beri peluang agar anak belajar sesuai dengan peringkat perkembangannya.
  5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya banyak diberi peluang untuk saling berbicara dengan teman-temannya dan saling berdiskusi.

 

3. Teori Belajar Vygotsky

Piaget lebih menekankan aktivitas individu dalam pembentukan pengetahuan, maka Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan tersebut, ada akibat yang ditimbulkan dari interaksi sosial terlebih bahasa dan budaya pada proses belajar anak.  Menurut Vygotsky, (Suparno, 1997:45), belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dia membedakan adanya dua pengertian, yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas, atau yang diperoleh dari pelajaran di sekolah. Selanjutnya Suparno (1997:52) mengatakan kedua konsep itu saling berhubungan. Apa yang dipelajari siswa di sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.

Sumbangan dari teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosiokultural dalam pembelajaran. Menurutnya bahwa pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada saat ini. Zona perkembangan proksimal adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Dengan demikian maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui pendekatan Contextual Teaching and learning, untuk melatih para siswa secara berangsur-angsur mampu memecahkan masalah secara mandiri. Vygotsky (Kozulin, 1998:41) mengatakan “Pengalaman telah menunjukkan bahwa anak dengan daerah perkembangan proksimal yang lebih besar akan lebih baik di sekolahnya”.

Gagasan penting lain dalam pembelajaran yang diangkat dari teori Vygotsky adalah scaffolding (Nur, 2000:14), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak (siswa-siswa) pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya sedikit demi sedikit, dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut saat mereka dinilai telah mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri.

Scaffolding didasarkan pada konsep Vygotsky tentang konsep pembelajaran dengan bantuan (assisted learning). Menurut Vygotsky (Nur, 2000:13) fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengarahkan memori dan atensi untuk tujuan tertentu serta kemampuan untuk berfikir dalam symbol-simbol, adalah perilaku yang memerlukan bantuan media. Dengan mendapatkan bantuan secara eksternal (dari luar diri siswa) oleh budaya, perilaku itu masuk dan melekat dalam benak siswa sebagai alat psikologis. Selanjutnya Vygotsky (Nur, 2000:14) mengatakan dalam pembelajaran dengan bantuan (assisted learning), guru adalah agen budaya yang memandu pembelajaran sehingga siswa akan menguasai secara tuntas keterampilan-keterampilan yang memungkinkan fungsi kognitif yang lebih tinggi.

Dalam teori Vygotsky dijelaskan bahwa ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun dari aktivitas siswa di dalam kelas, sedangkan aktivitas sosial siswa dikembangkan dalam bentuk kerja sama antar siswa dengan siswa lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru (Suparno, 1997:46).

Perbedaan penting antara Piaget dengan Vygotsky menurut Kozulin (1998:39), berada dalam pengertian mereka mengenai subyek kegiatan psikologis. Untuk Piaget, subyeknya adalah seorang individu anak yang pikirannya melalui interaksi dengan dunia fisik dan sosial, sampai pada bentuk alasan kedewasaan yang terkait dengan pengerjaan yang formal. Untuk Vygotsky, kegiatan psikologis mempunyai ciri-ciri sosial budaya dari awal pengembangannya; anak-anak bukanlah penemu tunggal dari aturan-aturan logis, melainkan merupakan seorang individu yang menguasai proses psikologis mereka sendiri melalui peralatan yang ditawarkan oleh budaya yang mereka miliki.

Selanjutnya Kozulin (1998:40) mengatakan untuk Piaget, pembelajaran muncul dalam interaksi yang tidak dibantu antara skema mental anak dan objek dari dunia luar. Hasilnya, anak itu memiliki “ide menakjubkan”-nya sendiri, yang dibutuhkan dalam lingkungan pembelajaran ini adalah menjadi cukup kaya sehingga anak-anak memiliki objek dan proses yang cukup untuk melatih skema mereka. Dari sudut pandang Vygotsky, pembelajaran muncul dalam gabungan antara anak-anak dan orang dewasa yang memperkenalkan alat-alat simbolis pada anak-anak itu dan mengajari mereka bagaimana mengatur dan mengontrol fungsi psikologis mereka melalui peralatan budaya ini. Dalam prosesnya, fungsi psikologis alami anak berubah, sifat dasar mereka menjadi teratur dan diberitahu secara alami dan secara sosial.

 

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kreativitas dan Berpikir Kreatif

Pembahasan pengertian berpikir kreatif tidak akan terlepas dari topik kreativitas. Pada permulaan penelitian tentang kreativitas, istilah ini biasanya dikaitkan dengan sikap seseorang yang dianggap sebagai kreatif. Pada berbagai literatur terdapat banyak definisi tentang kreativitas tetapi tampaknya tidak ada definisi umum yang sama, setiap ilmuwan memiliki definisi tersendiri menurut versinya masing-masing. Menurut Silver (1997) ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama disebut pandangan  kreativitas jenius. Menurut pandangan ini tindakan kreatif dipandang sebagai ciri-ciri mental yang langka, yang dihasilkan oleh individu luar biasa berbakat melalui penggunaan proses pemikiran yang luar biasa, cepat, dan spontan. Pandangan ini mengatakan bahwa kreativitas tidak dapat dipengaruhi oleh pembelajaran dan kerja kreatif lebih merupakan suatu kejadian tiba-tiba daripada suatu proses panjang sampai selesai seperti yang dilakukan dalam sekolah. Jadi dalam pandangan ini ada batasan untuk menerapkan kreativitas dalam dunia pendidikan. Pandangan pertama ini telah banyak dipertanyakan dalam penelitian-penelitian terbaru, dan bukan lagi merupakan pandangan kreativitas yang dapat diterapkan kepada pendidikan.

Pandangan kedua merupakan pandangan baru kreativitas yang muncul dari penelitian-penelitian terbaru — bertentangan dengan pandangan jenius. Pandangan ini menyatakan bahwa kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman yang mendalam, fleksibel di dalam isi dan sikap, sehinga dapat dikaitkan dengan kerja dalam periode panjang yang disertai perenungan. Jadi kreativitas bukan hanya merupakan gagasan yang cepat dan luar biasa. Menurut pandangan ini kreativitas dapat ditanamkan pada kegiatan pembelajaran dan lingkungan sekitar. 

Torrance (1969) mendefinisikan secara umum kreativitas sebagai proses dalam memahami sebuah masalah, mencari solusi-solusi yang mungkin, menarik hipotesis, menguji dan mengevaluasi, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada orang lain. Menurut Torrance dalam prosesnya hasil kreativitas meliputi ide-ide orisinil, cara pandang berbeda, memecahkan rantai permasalahan, mengkombinasikan kembali gagasan-gagasan atau melihat hubungan baru di antara gagasan-gagasan tersebut.  Torrance menggambarkan empat komponen  kreativitas yang dapat diases yaitu:

  1.  Kelancaran (fluency); kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide
  2.  Keluwesan atau fleksibilitas (flexibility); kemampuan menghasilkan ide-ide beragam
  3.  Kerincian atau elaborasi (elaboration); kemampuan mengembangkan, membumbui, atau mengeluarkan sebuah ide
  4.  Orisinalitas (originality); kemampuan untuk menghasilkan ide yang tak biasa di antara kebanyakan atau jarang.

Haylock (1997) mengemukakan kreativitas secara umum sebagai paham yang secara luas meliputi gaya kognitif, kategori-kategori pekerjaan, dan jenis-jenis hasil karya. Cropley (1992) mengemukakan paling sedikit ada dua cara dalam menggunakan istilah kreativitas. Pertama kreativitas yang mengacu pada jenis tertentu berpikir atau fungsi mental, jenis ini sering disebut berpikir divergen. Kedua, kreativitas dipandang sebagai pembuatan produk-produk yang dianggap keatif seperti karya seni, arsitektur, atau musik. Untuk pembelajaran di sekolah Cropley mengambil istilah kreativitas yang pertama, dan mengadaptasi pendirian tersebut bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memperoleh ide-ide khususnya yang asli, bersifat penemuan dan baru.       

Harris (1998) dalam artikelnya mengatakan bahwa kreativitas dapat dipandang sebagai suatu kemampuan, sikap dan proses. Kreativitas sebagai suatu kemampuan adalah kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dengan mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-ide yang telah ada. Kreativitas sebagai sikap adalah kemampuan diri untuk melihat perubahan dan kebaruan, suatu keinginan untuk bermain dengan ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan, kefleksibelan pandangan, sifat menikmati kebaikan, sambil mencari cara-cara untuk memperbaikinya. Sedangkan kreativitas sebagai proses adalah suatu kegiatan yang terus-menerus memperbaiki ide-ide dan solusi-solusi, dengan membuat perubahan yang bertahap dan memperbaiki karya-karya sebelumnya.

Rhodes (dalam Munandar, 1999:25) yang telah menganalisis lebih dari 40 definisi tentang kreativitas menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dirumuskan dalam istilah pribadi (person), proses, dan produk. Kreativitas juga dapat ditinjau dari kondisi pribadi dan lingkungan yang mendorong (press).  Rhodes menyebut keempat jenis definisi kreativitas ini sebagai “Four P’s of creativity: Person, Process, Press, Product”. Keempat P ini saling berkaitan: pribadi kreatif yang melibatkan diri dalam proses kreatif dengan dukungan dan dorongan (press) dari lingkungan, menghasilkan produk kreatif.

Secara operasional, kreativitas dapat diartikan sebagai  kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi, mengembangkan, memperkaya, memperinci suatu gagasan. Seperti diungkapkan oleh Munandar (1990) bahwa kemampuan kreatif merupakan hasil belajar yang terungkap secara verbal dalam kemampuan berpikir kreatif dan sikap kreatif. Kemampuan berpikir kreatif dapat diartikan sebagai tingkat kesanggupan berpikir anak untuk menemukan sebanyak-banyaknya, seberagam mungkin dan relevan, jawaban atas suatu masalah, lentur, asli dan terinci, berdasar data dan informasi yang tersedia.

Kreativitas berkaitan dengan faktor-faktor kognitif dan afektif. Kognitif memiliki ciri-ciri aptitude (kecerdasan) sedangkan afektif memiliki ciri-ciri non-aptitude. Ciri-ciri aptitude meliputi: keterampilan berpikir lancar, keterampilan berpikir luwes, keterampilan berpikir orisinal, keterampilan elaborasi/merinci dan keterampilan mengevaluasi. Ciri-ciri non aptitude dari kreativitas adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Ciri-ciri non-aptitude meliputi rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, sifat mengambil resiko dan sifat menghargai. Menurut Munandar (1999:12) Pengembangan kreativitas seseorang tidak hanya memperhatikan pengembangan kemampuan berpikir kreatif tetapi juga pemupukan sikap dan ciri-ciri kepribadian kreatif.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Half Empty or Half Full?

Seorang psikolog berjalan di sekitar ruangan ketika ia sedang mengajar manajemen stres pada sebuah kelas. Saat ia mengangkat segelas air, semua orang mengira mereka akan diberikan pertanyaan “setengah kosong atau setengah penuh “. Sebaliknya, dengan senyum di wajahnya, sang psikolog bertanya : “Berapa berat segelas air ini?”

Jawaban dari isi kelas berkisar antara 8 oz .(sekitar 227 gram) dan 20 oz. (sekitar 567 gram).

Sang Psikolog berkata, “Berat mutlak tidak masalah. Hal ini tergantung pada berapa lama saya memegangnya. Jika saya memegangnya selama satu menit, itu tidak masalah. Jika saya memegangnya selama satu jam, saya akan merasakan sakit di lengan saya. Jika saya memegangnya selama satu hari, lengan saya akan mati rasa dan lumpuh. Dalam setiap kasus, berat gelas tidak berubah, tapi semakin lama saya memegangnya, akan lebih berat jadinya. Dia melanjutkan, “tekanan dan kekhawatiran dalam hidup seperti segelas air. Jika Anda memikirkan mereka untuk sementara waktu maka tidak ada apapun yang terjadi. Pikirkan tentang mereka sedikit lebih lama dan mereka mulai menyakiti Anda. Dan jika Anda berpikir tentang mereka sepanjang hari, Anda akan merasa lumpuh. Tidak mampu melakukan apa-apa”.

(diterjemahkan dari Half Empty or Half Full Stories from School AZ)

Jadi, jangan lupa untuk meletakkan ‘gelas’ Anda.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Mengaku? Kenapa Harus? ( just another two cents )

Dalam film Arisan! yang jadi salah satu film favorit saya, ada adegan dimana salah satu tokoh bernama Andien yang diperankan Aida Nurmala meradang setelah Bob, suaminya (yang diperankan oleh Joshua Pandelaki) mengakui bahwa dia pernah berselingkuh dengan wanita lain. Perselingkuhan itu diakui oleh Bob tepat pada hari jadi pernikahan mereka, sesaat setelah ia memberikan Andien sebuah mobil Jaguar sebagai hadiah.

What was on his mind? Apa yang menyebabkan ia mengakui perselingkuhannya itu?
Tidak ada yang tahu alasannya kecuali Bob sendiri. Mungkin dia merasa bersalah karena Andien begitu setia. Jadi, untuk menghilangkan rasa bersalahnya itu ia kemudian mengaku, meskipun ia menambahkan pengakuan “kamu tidak kenal orangnya” , “hanya sekali” dan “aku khilaf”. Tapi apakah pengakuan itu berakibat baik? Di dalam film, digambarkan Andien yang sangat terluka akibat perbuatan Bob lalu membalas dengan berselingkuh dengan lelaki-lelaki yang lebih muda. Mabuk-mabukan, menelantarkan suami dan anak-anaknya. Mesti seperti layaknya dalam film, akhirnya Andien sadar dan kembali pada suaminya *spoiler alert*.

Hal itu kemudian membuat saya jadi berpikir *tumben* 😀

Sebenarnya pengakuan itu baik buat siapa?
Sesungguhnya menurut saya mengakui perselingkuhan pada pasangan yang tidak tahu (dan tidak curiga) bahwa kita berselingkuh adalah hal yang sangat.. uhmm.. egois. Kenapa egois? Jujurlah pada diri sendiri, pengakuan itu baik buat siapa? Benarkah melakukannya buat kebaikan pasangan dan hubungan yang tengah kita jalani? Atau malah demi kepentingan diri sendiri?

Jujur saja. Bukankah kebanyakan peselingkuh mengakui perselingkuhannya untuk meringankan beban, supaya tidak dikejar-kejar rasa bersalah, tidur malam jadi nyenyak, makan jadi enak dan tidak was-was seperti ketika belum mengakui ‘dosa’? Jangan – jangan beberapa kali kita jadi iri ketika melihat pasangan kita makan dengan enak di restoran langganan padahal kita sendiri tidak berselera makan karena takut ketemu sama selingkuhan? Mungkin dalam hati kita berkata : “Lahap bener kamu makannya, nggak tau sih kalo aku selingkuh… Coba kalau tau..”

Jujur saja. Mungkinkah kita mengakui perselingkuhan karena letih menjadi ‘orang baik’? Andien berkata pada Bob : ‘Kamu tuh terlalu baik untuk aku. Kamu tuh perfect sayang, perfect!’ Tentu saja setelah Bob mengaku pernah berselingkuh, dia jadi tidak sempurna lagi.
Bukan rahasia lagi jika orang yang berselingkuh biasanya menjadi lebih perhatian, lebih toleran dan bersikap lebih baik daripada biasanya kepada pasangannya karena didorong oleh rasa bersalah. Mau marah sama pasangan tapi nggak jadi karena ingat kita pernah/sedang berselingkuh, mau menegur cara berpakaian pasangan jadi tidak bisa karena kita pernah/sedang berselingkuh.

Saya kok agak – agak kurang percaya ya kalau ada yang bilang dia mengakui perselingkuhannya demi kebaikan pasangan. ‘Pendosa’ akan bisa tidur nyenyak, makan enak dan ‘plong’ setelah melakukan pengakuan. Lah, yang diselingkuhi bagaimana? Gantian dia yang jadi tidak bisa tidur, sedih, merana, tak enak makan. Yang diselingkuhi juga ditempatkan pada posisi yang tak enak. Apalagi jika ia perempuan. Suka atau tak suka, masyarakat kita masih menganut pemahaman bahwa selingkuh itu memang penyakit kaum pria. Berapa banyak dalam kenyataan peselingkuh (pria) seolah-olah ‘dibela’ oleh orang sekitar (termasuk oleh keluarga si perempuan)? “Yang namanya laki-laki kan memang begitu.” “Sudahlah, dia kan sudah ngaku dan berjanji nggak akan mengulangi.” “Demi kebaikan anak-anak kamu harus memaafkan, yang penting kan sekarang udah nggak lagi.” “Jadi orang tidak boleh menyimpan dendam.” endeswei, endebrei..

Dan kalau orang yang diselingkuhi tidak dapat memaafkan, malah dia yang di-cap jelek. Pendendam, egois, keras hati, kepala batu dsb. Kadang-kadang malah dibumbuhi dengan kalimat:  “Pantas saja pasangannya selingkuh, dianya kayak gitu.”
Sudahlah diselingkuhi, disalahkan pula.

Jadi, lagi-lagi saya harus bertanya, pengakuan itu baik untuk siapa? Bukannya lebih baik kalau kita menanggung sendiri akibat perbuatan kita? Pasangan kita tidak bersalah, untuk apa kita membuatnya jadi ikut-ikutan tidak enak makan dan tidak enak tidur? Untuk apa kita membuatnya menganalisa (dan menyesali) kesalahan dan kekurangan dirinya? Kita yang berselingkuh, bukan dia. Kita sudah mengikat janji untuk selalu setia. Dan janji dibuat untuk ditepati. Apapun alasannya, sekacrut apapun pasangan kita, jika kita berselingkuh, kita lah yang bersalah karena telah melanggar janji. If you can not stand in a relationship, get yourself out of it. Jangan selingkuh!

IMHO, kecuali jika pasangan memergoki dan/atau bertanya pada kita ( tidak masalah dia tahu dari mana) bolehlah mengakuinya. Harus malah. Jika ingin mengakui perselingkuhan agar bisa mengakhiri hubungan (resmi) yang sedang dijalani, silakan saja lakukan. Resiko ditanggung penumpang.. ;p

Tapi jika masih ingin melanjutkan hubungan dengan pasangan resmi dan berniat mengaku hanya sekedar untuk ‘meringankan beban’, sebaiknya jangan lakukan. Lebih baik ia tidak tahu, ingat, what you don’t know won’t hurt you *ngerti ora kowe son? ;p*

Jadi, pesan saya buat pasangan saya nanti: Jika kamu menyelingkuhi saya dan kamu benar-benar merasa bersalah dan ingin ‘menebus’ kesalahan, saya rasa pengakuan bukanlah jawabannya. Daripada menyakiti saya dengan pengakuan kamu, mengapa tak jadi saja pasangan yang lebih baik untuk saya? Bersikaplah lebih baik, lebih setia. Ingatlah setiap menatap wajah saya, bahwa kamu memiliki kesalahan pada saya. Jangan lupakan betapa akan sakit hatinya saya jika mengetahui perbuatanmu itu. 🙂

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Berilah Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Mengklaim Dirinya “Benar” (dari ‘Don’t Sweat the Small Stuff’ oleh Richard Carlson)

Salah satu pertanyaan penting yang tanyakan kepada diri sendiri adalah, “Apakah aku ingin menjadi benar atau apakah aku ingin jadi bahagia?” Seringkali, keduanya masing-masing berdiri sendiri!

Menjadi yang benar, mempertahankan pendapat kita, akan menghabiskan banyak energi mental dan seringkali membuat kita dikucilkan oleh orang-orang. Perlu dianggap benar – atau artinya perlu menganggap orang lain yang salah – membuat orang lain menjadi defensif, dan membuat kita tertekan karena harus bertahan. Tapi sebagian besar diantara kita (kadang-kadang saya juga begitu) membuang-buang banyak waktu dan energi untuk membuktikan (atau menunjukkan) bahwa kitalah yang benar – dan/atau orang lainlah yang salah. Kebanyakan orang, secara sadar atau tidak sadar percaya bahwa memang tugas kitalah untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa pendapat, pernyataan dan sudut pandang mereka salah. Dan, dengan berbuat begitu, orang yang kita koreksi itu akan menghargai kita atau, paling tidak belajar sesuatu dari kita. Salah besar!

Pikirkanlah. Pernah-kah Anda dikoreksi oleh seseorang dan mengatakan kepada orang yang merasa dirinya benar itu, “Terimakasih banyak karena sudah menunjukkan bahwa saya salah dan Anda benar. Sekarang  saya jadi tahu. Wah, Anda benar-benar hebat!” Atau, pernahkah  ada orang yang berterimakasih kepada Anda (atau setuju dengan Anda) bila Anda mengoreksi mereka, atau membuat diri Anda menjadi yang benar dengan mengorbankan orang lain? Pasti tidak. Yang benar adalah semua orang tidak suka dikoreksi. Kita semua ingin pendapat kita dihormati dan dipahami orang lain. Didengar adalah salah satu dari hal-hal yang paling diinginkan oleh hati manusia. Dan, mereka yang mau mendengar adalah orang-orang yang paling dicintai dan dihargai. Mereka yang punya kebiasaan mengoreksi orang lain biasanya adalah orang-orang yang tidak disukai dan dihindari.

 Ini bukan berarti kita tidak boleh menjadi orang yang paling benar – kadang-kadang kita memang benar-benar harus atau diharuskan untuk menjadi benar. Barangkali ada posisi filosofis tertentu yang tak ingin Anda korbankan seperti misalnya ketika Anda mendengar komentar yang berbau rasis. Dalam hal ini, Anda memang sangat perlu mengutarakan pandangan Anda. Namun,  biasanya ego Andalah yang pelan-pelan muncul dan merusak suatu pertemuan yang tadinya berlangsung damai – inilah kebiasaan ingin atau butuh untuk menjadi yang benar.

Strategi yang tulus dan baik untuk menjadi lebih tenang dan dicintai adalah untuk melakukan perbuatan yang memberi kesempatan orang lain untuk menjadi benar – memberi orang lain kebanggaan. Berhentilah mengoreksi orang. Semakin sulit mengubah kebiasaan ini, semakin berguna tiap usaha dan perbuatan yang kita lakukan. Bila seseorang berkata. “Saya pikir yang paling penting adalah ….” Daripada Anda memotongnya dan langsung berkata, “Tidak, yang paling penting adalah… “ atau mengucapkan kata-kata lain yang sifatnya mengoreksi , lebih baik biarkanlah ia menyelesaikan kata-katanya dan mengutarakan pendapatnya. Orang-orang yang ada disekitar Anda akan tidak defensif lagi dan lebih menyayangi Anda. Mereka akan menghargai Anda lebih daripada yang pernah Anda bayangkan sebelumnya, bahkan bila mereka juga tidak tahu mengapa mereka menghargai anda. Anda akan menemukan kenikmatan berpartisipasi dan menyaksikan kebahagiaan orang lain, yang jauh lebih menguntungkan daripada melakukan konflik ego. Anda tak usah mengorbankan kebenaran filosofis Anda yang paling dalam atau pandangan-pandangan anda yang paling tulus, tetapi, mulai hari ini, berilah kesempatan kepada orang lain untuk benar, sebanyak mungkin!

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Teori Minat

(Sengaja post disini dasar teori salah satu penelitian dulu.. ^^)

1. Pengertian Minat

Minat merupakan suatu kecenderungan untuk tingkah laku yang berorientasi pada objek, kegiatan atau pengalaman tertentu, dan kecenderungan tersebut antara individu yang satu dengan individu yang lain tidak sama intensifnya (Eysenck, dkk., 1972).

Minat diartikan pula sebagai kesadaran seseorang bahwa suatu objek, seseorang, suatu masalah ataupun suatu situasi yang mempunyai sangkut paut dengan dirinya yang dilakukannya dengan sadar serta diikuti rasa senang. Minat adalah sambutan yang sadar, jika tidak demikian maka minat tersebut tidak mempunyai nilai sama sekali. Kesadaran terhadap suatu objek disusul dengan meningkatnya perhatian (Witherington, 1986). Pendapat ini didukung oleh Setiadi (1987) yang menyebutkan bahwa minat merupakan aktivitas psikis manusia yang menyebabkan individu memberikan perhatian kepada suatu objek yang selanjutnya akan diikuti oleh kecenderungan untuk mendekati objek tersebut dengan perasaan senang.

Nugroho (1982) menyatakan bahwa minat adalah rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Pada dasarnya minat adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri, semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minatnya.

Minat juga dipandang sebagai kecenderungan dalam diri individu untuk tertarik pada suatu objek atau menyenangi sesuatu objek. (Suryabrata, 1988). Minat menurut Fishbein dan Ajzen (1975) merupakan bagian dari sikap yang bisa dibedakan berdasarkan sumber munculnya minat yaitu perilaku (behavior), sasaran (target),  situasi dan waktu. Minat bisa  muncul secara spontan, wajar, selektif dan tanpa paksaan ketika individu memberikan perhatian  (Gie, 1981).

Kartikawati (1995) menyatakan minat merupakan sikap yang membuat individu merasa senang terhadap objek, situasi atau ide – ide tertentu sehingga individu berusaha memperoleh objek yang disenangi dan menarik perhatian. Keinginan untuk memperoleh objek yang menarik perhatian bagi seseorang akan menjadi faktor penentu internal yang benar – benar mendasar dalam mempengaruhi perhatiannya sehingga kekuatan motif individu untuk memusatkan perhatian kepada objek kepuasan bisa diketahui dari minat individu tersebut.

Minat dipandang sebagai pendorong yang menyebabkan seseorang memberikan perhatian terhadap orang, sesuatu, aktivitas – aktivitas tertentu (Killis, 1986). Sementara itu menurut Walgito (1981) minat adalah suatu keadaan dimana seseorang menaruh perhatian pada sesuatu disertai keinginan untuk mengetahui, mempelajari dan membuktikan lebih lanjut.

Sukirin (1986) menyatakan minat adalah kecenderungan dalam diri individu untuk tetarik pada suatu objek. Seseorang yang berminat besar terhadap pekerjaan tertentu maka akan senang mengerjakan pekerjaan itu. Pendapat ini didukung oleh  As’ad (1995) yang menyatakan minat merupakan sumber motivasi yang akan mengarahkan tindakan seseorang.

Adanya minat pada seseorang memungkinkan ketertiban yang lebih besar dalam suatu kegiatan. Woodword dan Marquis (1957) menyatakan bahwa apabila seseorang menaruh minat pada sesuatu, maka minat tersebut berfungsi sebagai pendorong yang kuat untuk terlibat secara aktif pada objek yang menarik perhatiannya tersebut. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Winkel (1983) yang menyatakan bahwa minat adalah kecenderungan yang agak menetap pada subjek untuk merasa tertarik pada bidang atau tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam bidang itu.

Minat dapat dipahami untuk menunjukkan kekuatan motif yang menyebabkan seseorang memberikan perhatian kepada orang, benda atau aktifitas tertentu. Minat menggambarkan alasan – alasan  mengapa seseorang lebih tertarik kepada benda, orang atau aktivitas tertentu dibandingkan dengan yang lain. Minat juga dapat membantu seseorang untuk memutuskan apakah ia akan melaksanakan aktivitas yang ini atau aktivitas yang lain (Crow dan Crow, 1976).

Slameto (1988) menyatakan bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka atau rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara dirinya dengan sesuatu diluar dirinya, semakin kuat atau semakin dekat hubungan itu, maka akan semakin besar minatnya.

Minat merupakan pernyataan psikis yang belum dapat diamati secara langsung, yang dapat diamati adalah dinamikanya atau manifestasinya dalam perbuatan atau tingkah laku seseorang. Menurut Tanunihardjo & Santoso (1988), minat akan ditunjukkan oleh tindakan sebagai berikut:

a.   Orang tersebut akan berusaha mendapatkan informasi yang lengkap

b.   Orang tersebut akan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada

c.   Orang tersebut akan berusaha memperhatikan.

Pintrich dan Schunk (1996) membagi defenisi minat menjadi tiga yaitu:

a.  Minat pribadi, yaitu minat yang berasal dari pribadi atau karakteristik individu yang relatif stabil. Biasanya minat pribadi diasumsikan langsung ke beberapa aktivitas atau topik.

b. Minat situasi, yaitu minat yang berhubungan dengan kondisi lingkungannya seperti ruangan kelas, komputer dan buku teks yang dapat membangkitkan minat.

c.  Minat dalam rumusan psikologi,yaitu perpaduan antara minat pribadi dengan minat situasi.

2.  Aspek-aspek Minat 

Pintrich dan Schunk (1996) menyebutkan aspek – aspek minat adalah sebagai berikut:

a.      Sikap umum terhadap aktivitas (general attitude toward the activity) sikap umum disini maksudnya adalah sikap yang dimiliki oleh individu, yaitu perasaan suka atau tidak suka terhadap aktivitas.

b.      Pilihan spesifik untuk menyukai aktivitas (spesific preference for or liking the activity). Individu akan memutuskan pilihannya untuk menyukai aktivitas tersebut.

c.      Merasa senang dengan aktivitas (enjoyment of the activity),  yaitu perasaan senang individu terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitasnya.

d.      Aktivitas tersebut mempunyai arti atau penting bagi individu (personel importance or significance of the activity to the individual) individu merasa bahwa aktivitas yang dilakukannya sangat berarti.

e.      Adanya minat intrisik dalam isi aktivitas (instrinsic interest in the content of activity). Dalam aktivitas tersebut terdapat perasaan yang menyenangkan.

f.       Berpartisipasi dalam aktivitas (reported choise of or participation in the activity). Individu akan berpartisipasi dalam aktivitas itu karena menyukainya

3.  Dinamika Terbentuknya Minat

Minat dibentuk melalui perhatian dan belajar. Apabila seseorang memperhatikan sesuatu hal secara sukarela dan cenderung untuk mengingatnya, maka apa yang diingatnya tersebut merupakan petunjuk dari munculnya minat (Commins dan Fagin, 1954). Minat bersifat pribadi atau berkaitan dengan perbedaan individual dan berkembang sejak awal kanak-kanak (Crow dan Crow, 1963). Lebih lanjut Crow dan Crow menyatakan minat sering dihubungkan dengan sikap dan menjadi dasar prasangka terhadap suatu hal. Sikap minat bukanlah bawaan tetapi muncul dan berubah seiring dengan pengalaman yang diperoleh individu dalam perkembangannya, oleh karena itu dapat dikatakan minat terbentuk melalui proses belajar.

Di Vesta dan Thompson (1970) mengutip pendapat Bandura dan Kupers yang menyatakan bahwa minat terbentuk melalui identifikasi. Prosesnya bermula sejak individu mencari perhatian dari orang yang disukainya seperti orang tua, guru atau yang lainnya dan sebagai konsekuensinya ia berusaha untuk dapat menjadi seperti mereka. Pada tahap peniruan ini sering individu mempelajari inti peran baru hanya dengan sedikit usaha. Keberhasilan dalam peran tiruan tersebut akan menjadi faktor yang mempengaruhi berkembangnya minat terhadap peran baru yang berbeda dari peran sebelumnya (Super dalam Di Vesta dan Thompson, 1970).

Dalam pengertian sebagai perhatian, minat dapat diamati pada tingkah laku awal seorang anak. Pada masa kanak – kanak, tingkah laku yang muncul lebih banyak disebabkan oleh stimulasi atau rangsangan indera dan selalu mencari rangsangan tersebut dengan cara waspada terhadap sekelilingnya. Kesenangan muncul dari perhatiannya terhadap gerakan – gerakan orang atau objek.

Pada mulanya aktivitas ini bersifat biologis, tetapi kemudian muncul suatu persepsi dan konsep yang merupakan komponen psikologis yang penting. Anak akan belajar menolak aktivitas yang menimbulkan ketidaksenangan dan cenderung untuk mengulang aktivitas yang menimbulkan kecemasan pada anak sehingga akan mempengaruhi perkembangan minatnya terhadap suatu objek atau aktivitas tertentu (Skinner, 1977).

Suryabrata (1981) membedakan minat menjadi dua, yaitu:

  1. Minat Instrinsik, yaitu kecenderungan seseorang yang berhubungan dengan aktivitas itu sendiri.
  2. Minat ekstrinsik, yaitu kecenderungan seseorang untuk memilih aktivitas berdasarkan pengaruh orang lain atau tujuan harapan orang lain.

Individu dapat dikatakan menaruh minat terhadap suatu objek ditandai dengan :

a.      Kecenderungan untuk memikirkan objek yang diminati.

b.      Keinginan untuk memperhatikan objek yang diminati.

c.      Rasa senang terhadap objek yang diminati.

d.      Keinginan untuk mengetahui atau mengikuti objek yang diminati.

4.  Faktor – Faktor  yang Mempengaruhi Terbentuknya Minat

Mappiare (1982) mengemukakan bahwa bentuk minat seseorang dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan, tingkat ekonomi, status sosial, dan pengalaman. Minat seseorang dapat berkembang sebagai akibat perubahan fisik dan sosial masyarakat.

Proses terbentuknya minat menurut Wells dan Prensky (1996) berasal dari perpaduan internal dan eksternal. Faktor internal berupa sikap untuk melakukan sesuatu yang terbentuk dari keyakinan bahwa perilaku akan mengarahkan ke tujuan yang diinginkan dan evaluasi terhadap hasil yang dicapai. Faktor eksternal berupa norma subjektif yang terbentuk dari keyakinan bahwa kelompok referensi untuk melakukan atau tidak dan motivsi untuk identifikasi dengan kelompok referensi.

Surachmad (1980) menyatakan minat dipengaruhi oleh jenis kelamin, inteligensi, kesempatan, lingkungan, teman sebaya, kesanggupan dan banyak faktor lainnya. Hadipranata (1989) menyatakan bahwa minat adalah perpaduan antara kebutuhan (individual needs) dan tuntutan masyarakat (social need).

Crow dan Crow (1972) menyatakan bahwa minat dapat merupakan sebab atau akibat dari suatu pengalaman. Oleh karena itu minat berhubungan dengan dorongan, motif – motif  dan respon – respon manusia. Selanjutkan Crow dan Crow menyatakan ada 3 faktor yang mempengaruhi minat, yaitu;

  1. Faktor dorongan atau keinginan dari dalam (inner urges), yaitu dorongan atau keinginan yang berasal dari dalam diri seseorang terhadap sesuatu akan menimbulkan minat tertentu. Termasuk di dalamnya berkaitan  dengan faktor – faktor  biologis yaitu faktor – faktor  yang berkaitan dengan kebutuhan – kebutuhan  fisik yang mendasar.
  2. Faktor motif sosial (social motive), yaitu motif yang dikarenakan adanya hasrat yang berhubungan dengan faktor dari diri seseorang sehingga menimbulkan minat tertentu. Faktor ini menimbulkan seseorang menaruh minat terhadap suatu aktifitas agar dapat diterima dan diakui oleh lingkungan termasuk di dalamnya faktor status sosial, harga diri, prestise dan sebagainya.
  3. Faktor emosional (emotional motive), yaitu motif yang berkaitan dengan perasaan dan emosi yang berupa dorongan – dorongan, motif – motif,  respon – respon emosional dan pengalaman – pengalaman yang diperoleh individu.

Dari pendapat – pendapat  yang dikemukakan oleh Engel (1994), Kotler (1994), dan Loudon & Bitta (1993), faktor – faktor  yang berpengaruh pada minat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi pengalaman, kepribadian, sikap dan kepercayaan, serta konsep diri. Faktor eksternal meliputi budaya, sosial, kelompok referensi dan keluarga. Faktor internal individu berupa pengalaman merupakan hasil dari proses belajar yang akan menambah wawasan individu. Pada saat proses terjadi, individu akan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan objek. Hasil pemrosesan akan menentukan sikap individu terhadap objek.

 

Posted in Teori | Tagged , | 2 Comments

The Song that Got Stuck in My Head.. (Lately)

“Undone” By Haley Reinhart

I’m sorry, I’m really a mess right now
I’m trying my best to get it together somehow
I can’t see this way, locked up in this pain that you left me
I’m unraveling, looking for things that’ll never be

Stars fade away they just crash into space
Disappear from the light like you and I

Tell me where love goes when it’s gone
Tell me where hearts go when they go wrong
Suddenly someone is no one I’ve come
Undone, undone, undone
Undone, undone, undone

I’m sorry, I let me fall for you
I can erase you and forget you but I can’t undo you
You’re the hand I can’t hold, the words I’m not told when I’m lonely
And I don’t want you back, I just want to have what you took from me

Stars fade away they just crash into space
Disappear from the light like you and I

Tell me where love goes when it’s gone
Tell me where hearts go when they go wrong
Suddenly someone is no one I’ve come
Undone, undone, undone

I’ll come around again
I know it’s not the end
But right now I’ve got nowhere to begin
To begin

Tell me where love goes when it’s gone
Tell me where hearts go when they go wrong
Suddenly someone is no one I’ve come
Undone, undone, undone

Nothing but emptiness inside
Love leaves a black hole where it dies
How can I ever love again, I’ve come
Undone, undone, undone
Undone, undone, undone
Undone, undone

Posted in Uncategorized | Leave a comment